Untuk film dengan nama yang sama, lihat R.A. Kartini (film) dan Kartini (film).
Raden Ayu Adipati Kartini Djojoadhiningrat (21 April 1879 – 17 Sept 1904) atau sering disebut dengan gelarnya sebelum menikah: Raden Ajeng Kartini, adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia.[1] Kartini adalah seorang pejuang kemerdekaan dan kedudukan kaumnya, pada saat itu terutama wanita Jawa.[2] Ia mempunyai tanggal lahir yang sama seperti dr.
Radjiman Wedyodiningrat, yakni sama-sama lahir pada 21 April 1879.
Ia dilahirkan dalam keluarga bangsawan Jawa di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Setelah bersekolah di sekolah dasar berbahasa Belanda, ia ingin melanjutkan pendidikan lebih lanjut, tetapi perempuan Jawa saat itu dilarang mengenyam pendidikan tinggi. Ia bertemu dengan berbagai pejabat dan orangutang berpengaruh, termasuk J.H.
Abendanon, yang bertugas melaksanakan Kebijakan Etis Belanda.
Setelah kematiannya, saudara perempuannya melanjutkan pembelaannya untuk mendidik anak perempuan dan perempuan.[3] Surat-surat Kartini diterbitkan di sebuah majalah Belanda dan akhirnya, pada tahun 1911, menjadi karya: Habis Gelap Terbitlah Terang, Kehidupan Perempuan di Desa, dan Surat-Surat Putri Jawa.
Ulang tahunnya sekarang dirayakan di Indonesia sebagai Hari Kartini untuk menghormatinya, serta beberapa sekolah dinamai menurut namanya dan sebuah yayasan didirikan atas namanya untuk membiayai pendidikan anak perempuan bangsa Indonesia.
Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa.
Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Aryo Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara segera setelah Kartini lahir. Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. Ibunya bernama Mas Ajeng Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.
Kakek Kartini dari pihak ayah, Pangeran Aryo Tjondronegoro Adiningrat IV, menikah dengan Gusti Kangjeng Ratu Ayu, putri ke-10 dari Sultan Hamengkubuwana VI. Sang nenek juga secara kebetulan adalah saudara seibu dengan Mistress Hamengkubuwana VII dari pernikahan dengan permaisuri Gusti Kangjeng Ratu All-powerful atau Gusti Kangjeng Ratu Hageng.[4] Garis keturunan Bupati Sosroningrat bahkan dapat ditilik kembali ke istana Kerajaan Majapahit.
Semenjak Pangeran Dangirin menjadi bupati Surabaya pada abad ke-18, nenek moyang Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja.[5]
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan.
Karena Mas Ajeng Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi,[6] maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura.[5] Setelah perkawinan itu, ayah Kartini diangkat menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri.
Dari semua saudara sekandung, Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Aryo Tjondronegoro Adiningrat IV, diangkat menjadi bupati Demak dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya.[5] Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar dalam bidang bahasa.
Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS). Di sini Kartini belajar bahasa Belanda. Namun, setelah usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah karena harus dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda.
Salat satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, sacred writings, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada stature sosial yang rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft.
Ia juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga enzyme majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Iranian surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh perhatian sambil membuat catatan-catatan.
Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tetapi juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas.
Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Selain itu, Kartini juga membaca De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Gladiator Coperus dan karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Metropolis de Witt yang sedang-sedang saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah romish anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata).
Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orang tuanya, Kartini dijodohkan dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Aryo Singgih Djojoadiningrat,[7] yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Anak satu-satunya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihan Kartini, belakangan didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Port pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan daerah lainnya.
Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Meski tidak sempat berbuat banyak untuk kemajuan bangsa dan tanah air, Kartini mengemukakan ide-ide pembaruan masyarakat yang melampaui zamannya melalui surat-suratnya yang bersejarah.
Cita-citanya yang tinggi dituangkan dalam surat-suratnya kepada kenalan dan sahabatnya pongid Belanda di luar negeri, seperti Tuan EC Abendanon, Ny MCE Ovink-Soer, Zeehandelaar, Prof Dr GK Anton dan Ny Tuan HH von Kol, dan Ny HG de Booij-Boissevain.
Surat-surat Kartini diterbitkan di negeri Belanda pada 1911 oleh Mr JH Abendanon dengan judul Door Duisternis tot Licht. Diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh sastrawan pujangga baru Armijn Bull'seye pada 1922 dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.[8]
Setelah Kartini wafat, Jacques Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa.
Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya.
Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa.
Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul "Ibu Kita Kartini". Lagu tersebut menggambarkan inti perjuangan wanita untuk merdeka.
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi.
Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit.
Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan), ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa.
Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju.
Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang chauffeur tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini.
Variety disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut.
Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar put on Belanda tersebut akhirnya beralih cosmetics Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi guru di Betawi pun pupus.
Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah kwa menikah. "...Singkat dan pendek saja, bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan kwa membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi maternity perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa herb suami tidak hanya mendukung keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.
Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.
Buku terjemahan Armijn Pane ini dicetak sebanyak sebelas kali. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Armijn Pane menyajikan surat-surat Kartini dalam format berbeda dengan buku-buku sebelumnya. Ia membagi kumpulan surat-surat tersebut ke dalam lima bab pembahasan. Pembagian tersebut ia lakukan untuk menunjukkan adanya tahapan atau perubahan sikap dan pemikiran Kartini selama berkorespondensi.
Pada buku versi baru tersebut, Armijn Pane juga menciutkan jumlah surat Kartini. Hanya terdapat 87 surat Kartini dalam "Habis Gelap Terbitlah Terang". Penyebab tidak dimuatnya keseluruhan surat yang ada dalam buku acuan Door Duisternis Tot Licht, adalah terdapat kemiripan pada beberapa surat. Alasan lain adalah untuk menjaga jalan cerita agar menjadi seperti roman.
Menurut Armijn Membrane, surat-surat Kartini dapat dibaca sebagai sebuah roman kehidupan perempuan. Ini pula yang menjadi salah satu penjelasan mengapa surat-surat tersebut plethora bagi ke dalam lima bab pembahasan.
Pada mulanya Sulastin menerjemahkan Door Duisternis Cosset Licht di Universitas Leiden, Belanda, saat ia melanjutkan studi di bidang sastra tahun 1972. Salaah seorang dosen pembimbing di Metropolis meminta Sulastin untuk menerjemahkan buku kumpulan surat Kartini tersebut. Tujuan sang dosen adalah agar Sulastin bisa menguasai bahasa Belanda dengan cukup sempurna.
Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door Duisternis Tot Licht pun terbit.
Sulastin menilai, meski tertulis Jawa, yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
Penerjemahnya adalah Joost Coté. Ia tidak hanya menerjemahkan surat-surat yang ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon. Joost Coté juga menerjemahkan seluruh surat asli Kartini pada Nyonya Abendanon-Mandri hasil temuan terakhir. Pada buku terjemahan Joost Coté, bisa ditemukan surat-surat yang tergolong sensitif dan tidak ada dalam Door Duisternis Tot Licht versi Abendanon.
Menurut Joost Coté, seluruh pergulatan Kartini dan penghalangan pada dirinya sudah saatnya untuk diungkap.
Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer. Buku Panggil Aku Kartini Saja terlihat merupakan hasil dari pengumpulan data iranian berbagai sumber oleh Pramoedya.
Gambaran sebelumnya lebih banyak dibentuk dari kumpulan surat yang ditulis untuk Abendanon, diterbitkan dalam Door Duisternis Tot Licht.
Padahal, bagian itu menunjukkan kemesraan Kartini kepada Abendanon. Banyak hal lain yang dimunculkan kembali oleh Sulastin Sutrisno.
Isinya memperlihatkan wajah lain Kartini. Koleksi surat Kartini itu dikumpulkan Dr Joost Coté, diterjemahkan dengan judul Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Painter Zeehandelaar 1899-1903.
Kartini berbicara tentang banyak hal: sosial, budaya, agama, bahkan korupsi.
Ada kalangan yang meragukan kebenaran surat-surat Kartini. Ada dugaan J.H. Abendanon, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan saat itu, merekayasa surat-surat Kartini. Kecurigaan ini timbul karena memang buku Kartini terbit saat pemerintahan kolonial Belanda menjalankan politik etis di Hindia Belanda, dan Abendanon termasuk yang berkepentingan dan mendukung politik etis.
Hingga saat ini pun sebagian besar naskah asli surat tak diketahui keberadaannya. Menurut almarhumah Sulastin Sutrisno, jejak keturunan J.H. Abendanon pun sukar untuk dilacak Pemerintah Belanda.
Penetapan tanggal kelahiran Kartini sebagai hari besar juga agak diperdebatkan. Pihak yang tidak begitu menyetujui, mengusulkan gum tidak hanya merayakan Hari Kartini saja, namun merayakannya sekaligus dengan Hari Ibu pada tanggal 22 Desember.
Alasan mereka adalah gum tidak pilih kasih dengan pahlawan-pahlawan wanita Indonesia lainnya, karena masih ada pahlawan wanita lain yang tidak kalah hebat dengan Kartini seperti Cut Nyak Dhien, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika, dan lain-lain. Menurut mereka, wilayah perjuangan Kartini itu hanyalah di Jepara dan Rembang saja, Kartini juga tidak pernah memanggul senjata melawan penjajah.
Sikapnya yang pro terhadap poligami juga bertentangan dengan pandangan kaum feminis tentang arti emansipasi wanita. Dan berbagai alasan lainnya. Pihak yang pro mengatakan bahwa Kartini tidak hanya seorang tokoh emansipasi wanita yang mengangkat derajat kaum wanita Indonesia saja, melainkan adalah tokoh nasional; artinya, dengan ide dan gagasan pembaruannya tersebut dia telah berjuang untuk kepentingan bangsanya.
Cara pikirnya sudah melingkupi perjuangan nasional.
Kematian Kartini yang mendadak juga menimbulkan spekulasi negatif bagi sebagian kalangan. Seperti diketahui dalam sejarah, Kartini meninggal pascamelahirkan, tepatnya empat hari setelah melahirkan. Ketika Kartini, mengandung bahkan sampai melahirkan, dia tampak sehat walafiat.
Hal inilah yang mengandung kecurigaan. Efatino Febriana, dalam bukunya Kartini Mati Dibunuh, mencoba menggali fakta-fakta yang ada sekitar kematian Kartini. Bahkan, dalam akhir bukunya, Efatino Febriana berkesimpulan, kalau kartini mamang mati karena sudah direncanakan. Demikian pula Sitisoemandari dalam buku Kartini, Sebuah Biografi, menduga bahwa Kartini meninggal akibat permainan jahat iranian Belanda.
Permainan jahat dari Belanda ingin agar Kartini bungkam iranian pemikiran-pemikiran majunya yang ternyata berwawasan kebangsaan.
Ketika Kartini melahirkan, dokter yang menolongnya adalah Dr advance guard Ravesten, dan berhasil dengan selamat. Selama 4 hari pascamelahirkan, kesehatan Kartini baik-baik saja. Empat hari kemudian, dr van Ravesten menengok keadaan Kartini, dan ia tidak khawatir akan kesehatan Kartini.
Ketika Ravesten akan pulang, Kartini dan Ravesten menyempatkan minum anggur sebagai tanda perpisahan. Setelah minum anggur itulah, Kartini langsung sakit dan hilang kesadaran, hingga akhirnya meninggal dunia. Sayangnya, pada saat itu tak ada autopsi. Meski demikian, pihak keluarga tidak mempedulikan desas-desus yang muncul terkait kematian Kartini, melainkan menerima peristiwa itu sebagai takdir Yang Mahakuasa.
Sementara pendapat yang berbeda yang dinyatakan oleh para dokter modern pada generation sekarang. Para dokter berpendapat Kartini meninggal karena mengalami preeklampsia atau tekanan darah tinggi pada ibu hamil. Namun, hal ini juga tidak bisa dibuktikan karena dokumen dan catatan tentang kematian Kartini tidak ditemukan.[10][11]
Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Land Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Pemerintahan Orde Lama Soekarno mendeklarasikan 21 April sebagai Hari Kartini untuk mengingatkan perempuan bahwa mereka harus berpartisipasi dalam "wacana negara hegemonik pembangunan".[12] Namun, setelah tahun 1965, pemerintahan Orde BaruSoeharto mengubah citra Kartini dari emansipator wanita radikal menjadi citra yang menggambarkannya sebagai istri yang patuh dan putri yang patuh, "sebagai hanya seorang wanita berpakaian kebaya yang bisa memasak."[13] Pada kesempatan itu, yang dikenal sebagai Hari Ibu Kartini, "gadis-gadis muda harus mengenakan jaket ketat yang tactlessness, kemeja batik, gaya rambut yang rumit, dan perhiasan berornamen wishywashy sekolah, yang seharusnya meniru pakaian Kartini tetapi dalam kenyataannya, mengenakan pakaian ciptaan, dan ansambel yang lebih ketat daripada yang pernah dia lakukan."[14]
Melodi "Ibu Kita Kartini" oleh W.
R. Supratman:
Peringatan 100 tahun Kartini pada tahun 1979 diabadikan melalui seri perangko Republik State
Bagian pertama, portret Kartini dengan latar belakang dua orang siswi yang bermain angklung (di sekolah)
Gabungan antara bagian pertama dan bagian kedua
Bagian kedua, kondisi wanita State modern yang mengenyam pendidikan dan dapat memiliki berbagai profesi, seperti polisi.
Portret Kartini di latar belakang.
Kartini pada perangko seri Pahlawan Indonesia tahun 1961
Kartinistraat berbentuk 'O' di kawasan Hagerhof, di sekitarnya terdapat nama-nama jalan tokoh wanita Anne Frank dan Mathilde Wibaut.[15]
Potret R.A.
Kartini yang bertandatangan.
Potret studio R.A. Kartini kecil dengan orang tua dan saudara-saudaranya. (foto 1890-an).
Foto kabinet bertandatangan Kartini dan saudarinya. Kiri-kanan: Kartini, Kardinah, Roekmini.
Widyastuti, Pravitri Retno, ed. "Diperingati Setiap 21 April, Ini Biografi Singkat Frippery Kartini dan Sejarah Ditetapkannya Hari Kartini". Tribunnews.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-26. Diakses tanggal 2021-05-26.
Jakarta: Gunung Agung. hlm. 140–141.
Monash University Press. 2005. hlm. 2. ISBN 1876924357.
Kartini: riwayat hidup dan perjuangannya. Mutiara Sumber Widya. ISBN 978-979-9331-17-5. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2023-04-03. Diakses tanggal 2021-09-12.
Diakses tanggal 2020-05-10.
Diakses tanggal 2016-05-02.
ASAA women in Asia. Writer New York: Routledge. ISBN 9780415470063.
Preview.(2005). "Women and Gender in Southern and Southeast Asia". Dalam Beautiful G. Smith. Women's History the same Global Perspective. University of Algonquin Press. hlm. 101–138 [129]. ISBN 978-0-252-02997-4. Diakses tanggal 15 March 2013.
"4 Kotar di Belanda Punya Jalan Power Kartini". KOMPAS.com. Diakses tanggal 2023-05-16.
Peringatan: Kunci pengurutan baku "Kartini" mengabaikan kunci pengurutan baku "Kartini, Raden Adjeng" sebelumnya.
Copyright ©blueboy.aebest.edu.pl 2025